Sabtu, 20 Februari 2010

Solusi Agar Presiden Tidak Di kerbaukan Pendemo

REPUBLIK ini sudah tidak berwibawa lagi, bila pemimpinnya tidak dihormati rakyatnya. Kewibawaan Presiden dan Wakil Presiden RI benar-benar jatuh di mata rakyat. Berbagai umpatan diumbar luas dalam berbagai demo, tulisan, facebook dan lain sebagainya.

Di jalanan, demonstrasi benar-benar liar. Wapres Boediono dan Menteri Keuangan Sri Mulyani kerap jadi sasaran dengan berbagai kritikan sarkasme. Foto kedua pejabat negara itu ditambahi dua buah taring dan diberi goresan merah seperti ceceran darah, sehingga foto itu berubah menjadi drakula atau vampir yang baru menghisap darah manusia.

Ungkapan dalam spanduk pun jauh dari rasa kesopanan yang tidak etis bila dituliskan di situs Islam ini.

Hujatan terhadap presiden juga datang dari seorang tokoh nasional mantan pemimpin ormas Islam kedua negeri ini. Dengan seenaknya ia mengeluarkan statemen terbuka kepada media di Jakarta, Kamis (28/1/2010) bahwa pola pikir SBY sudah luar biasa goblog.



Tak hanya di jalanan, dalam forum resmi dan terhormat pun pemimpin negara ini dihujat! Dalam rapat pansus Century di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Selasa (12/1/2010), Wakil Presiden Boediono diteriaki ”Boediono maling! Boediono maling! Tangkap Boediono” sebanyak tiga kali.

Ungkapan “maling” kepada pemimpin negara itu terlulang lagi dalam demonstrasi menyambut 100 hari pemerintahan SBY-Boediono, di Jakarta (28/1/2010). Tanpa merasa risih sedikitpun, para pendemo meneriakkan kata-kata kotor “SBY Maling, Boediono Maling! SBY Lebay,” dan masih banyak lagi.

Padahal dalam kultur Indonesia, ejekan “maling!” itu sebetulnya tidak sopan, meskipun ditujukan kepada rakyat jelata, apalagi kepada pemimpin negara tertinggi, yaitu presiden dan wakil presiden.

Tak puas dengan umpatan maling, para demonstran juga menyamakan Presiden SBY dengan simbol kerbau SiBuYa. Seekor kerbau dimake-up sedemikian rupa, badan yang hitam diberi tulisan SBY yang diplesetkan dengan istilah 'Si BuYa' untuk menghindari delik hukum. Pada bokong kerbau ditempeli gambar kartun pria berpeci mirip Presiden SBY, dengan tulisan “turun!”

Tanpa merasa risih sedikitpun, para pendemo meneriakkan kata kotor “SBY Maling, Boediono Maling! SBY Lebay,” dan masih banyak lagi. Tak puas dengan umpatan maling, para demonstran juga menyamakan Presiden SBY dengan simbol kerbau SiBuYa.

Di situs jejaring sosial, ungkapan penghujatan terhadap kepala negara juga tak kalah nekadnya. Di Facebook, berbagai macam group anti SBY juga sangat marak. Contohnya adalah group "KERBAU GUGAT SBY," "Sby Mirip Kerbau," dan group “1.000.000,- Kerbau TO MY LORD SBY.” Foto profil kedua group ini adalah Presiden SBY berdampingan dengan seekor kerbau hitam. Astaghfirullah…

Sampai saat ini, para penghina pemimpin negara itu tidak terkena sanksi apapun. Lantas di manakah kewibawaan pemimpin negara di hadapan jutaan rakyatnya?

Carut-marut negeri mayoritas Muslim itu tak luput dari perhatian Ustadz Abu Bakar Ba’asyir, amir Jama’ah Anshorut Tauhid. Kiyai sepuh yang masih teguh pada prinsip dakwah dan jihad meski pernah dipenjara ini ternyata punya solusi agar presiden tidak didemo, dihujat dan dicaci-maki rakyat. Solusi itu disampaikan di hadapan ratusan jamaah pengajian bulanan di Masjid Ramadhan Bekasi, Ahad (7/2/2010).

Solusi yang paling cespleng untuk mengobati kerusakan republik ini, menurut Ba’asyir adalah penerapan syariat Islam dalam bernegara. Dalam sistem Islam, sesama mukmin harus saling memberi nasihat tentang kebenaran dan kesabaran. Saling memberi nasihat supaya kembali kepada yang haq dan bersabar. Sabar mengamalkan yang haq dan sabar meninggalkan kebatilan.

“Antara pemimpin dan rakyat saling nasihat-menasihati. Bukan hanya pemimpin saja yang menasihati rakyat, tapi rakyat pun boleh menasihati pemimpin,” jelas dia.

Jika negara sudah menerapkan syariat Islam, maka pemimpin dan rakyat akan hidup saling mencintai dan menjaga kehormatan. Maka demo di jalanan yang menghujat pemimpin adalah perbuatan yang terlarang.

“Etika dalam Islam, tidak boleh menasihati pemimpin dengan cara demo yang menjelek-jelekkan di depan umum. Tapi ini berlaku untuk pemimpin Islam. Kalau mau menasihati, datangi langsung, dan pemimpinnya harus mau menerima nasihat. Pemimpin Islam harus mau menerima nasihat, tidak melalui protokoler yang angel (susah, ed.) dan menyulitkan,” terang Ba’asyir.

Pelajaran dari Ustadz Ba’asyir itu sungguh sangat berharga. Tak ada salahnya jika Presiden SBY mau berguru kepada pengalaman Ba’asyir agar tidak diteriaki “maling!” dan disamakan dengan binatang kerbau oleh rakyat yang dipimpinnya. Bukankah sejarah membuktikan, Ba’asyir tidak pernah didemo Majelis Mujahidin, Jama’ah Anshorut Tauhid maupun keluarga besar Pesantren Ngruki? Bukankah dengan syariat Islam, kiyai sepuh tidak pernah diteriaki “maling” apalagi disamakan dengan “kerbau” oleh jutaan jamaahnya yang dipimpinnya?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar