Sabtu, 07 Mei 2011

MEGA PROYEK ANTI ROKOK

Beberapa waktu lalu, filantropis Amerika Serikat (AS) berdarah Yahudi Michael Rubens Bloomberg menggelontorkan dana hibah total USD4,2 juta (Rp39 miliar) untuk mendukung kampanye antirokok lewat bendera Bloomberg Initiative (BI).

Katanya sih, berdasarkan catatan lembaga pria yang juga menjadi donator Sinagoga Beth Shalom itu, setiap tahun 14.000 orang meninggal karena konsumsi tembakau. Benarkah? Jika masyarakat dunia tidak mengambil upaya pencegahan, sedikitnya 8 juta orang bakal tewas akibat tembakau hingga 2030. Dalam situsnya, BI menulis, sebanyak 80% dari keseluruhan korban tersebut berasal dari negara berkembang.

Menurut laporan BI, dua pertiga pecandu rokok dunia berada di 15 negara, yaitu China, Brasil, Ukraina, India, Meksiko, Filipina. Kemudian Indonesia, Turki, Thailand, Rusia, Pakistan, Vietnam, Bangladesh, Mesir, dan Polandia.

Eh….yang lebih menarik lagi, genderang perang terhadap rokok juga sudah ditabuh keras-keras Muhammadiyah, ormas berbasis agama. Entah ini sebuah kebetulan atau sudah diskenario, fatwa haram rokok Muhammadiyah “beriringan” dengan dukungan dari Bloomberg. Kata orang beragama, wallahualam (hanya Tuhan yang tahu). Beruntung saya tidak hidup dibawah bayang-bayang agama.

Tapi, pejabat di Muhammadiyah sendiri tidak tahu kalau lembaganya menerima bantuan dana dari Bloomberg. Ya itu tadi, wallahualam. Dalam pernyataan resminya, Ketua PP Muhammadiyah bidang Kesejahteraan, Kesehatan dan Lingkungan Sudibyo Markus mengakui bahwa Muhammadiyah Tobacco Center menerima sejumlah dana dari donatur luar negeri.

Katanya lagi, dana itu bukan dari Bloomberg, tapi dari Intenational Union Against Tuberculosis and Lung Diseases. Tapi, Bloomberg sendiri dalam keterangan resminya justru menyebutkan, dana yang digelontorkan itu akan diberikan kepada organisasi kesehatan. Nah, diantara nama organisasi kesehatan, tercantum pula Muhamadiyah yang disebut-sebut menerima dana sebesar USD393.234?????

Dalam penjelasan singkat yang tertulis di situs Bloomberg, dana tersebut digunakan untuk mendukung kampanye mengharamkan rokok yang gencar disuarakan Muhammadiyah. Selain itu, proyek ini ditujukan untuk memberi penjelasan pada anggota Muhammadiyah dan institusi Islam lain tentang fatwa bahaya merokok.

Selain Muhammadiyah, Bloomberg juga mengucurkan dana untuk Bogor City Health Agency. Proyek tersebut ditujukan untuk mengupayakan kota Bogor bebas rokok. Dana sebesar USD228.224 sudah dikucurkan ke Bogor sejak Maret 2009. Proyek akan selesai pada Februari 2011.

Sebelumnya, Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia juga mendapat aliran dana sebesar USD280.755. Proyek dimulai pada Oktober 2008 dan berakhir Juli 2010. Proyek ini diharapkan dapat memengaruhi bentuk kebijakan di Indonesia tentang pajak tembakau

Berdasarkan laman www.tobaccocontrolgrants.org, (13/3/2010), Bloomber sedikitnya mengucurkan dana USD4.195.442 dalam rentang waktu 2007-2010 yang digelontorkan untuk 14 proyek antirokok. Penerimanya terbagi mulai dari institusi pendidikan, lembaga kesehatan, organisasi masyarakat, serta LSM.

Proyek terbesar Bloomberg di Indonesia adalah pembentukan Tobacco Control Support Centre (TCSC) yang menghabiskan dana USD542.600. Lewat jargon “To reduce tobacco use”, selain Indonesia, Bloomberg juga menyokong kampanye antirokok di 14 negara lain. Mereka menggalakan kampanye mulai dari gerakan penyadaran masyarakat akan bahaya rokok sampai mendorong terciptanya regulasi antirokok.

Tetapi, kampanye antirokok yang digaungkan selama ini menjadi menarik jika kita membaca artikel Robert A Levy dan Rosalind B Marimont (1998) berjudul Lies, Damned Lies & 400.000 Smoking-Relating Deaths. Perang terhadap tembakau, kata Levi dan Marimont, telah berkembang menjadi “monster kebohongan dan kerakusan”. Ilmu pengetahuan sampah (junk science) telah menggantikan ilmu pengetahuan yang jujur (honest science). Propaganda tampil sebagai fakta-fakta. Yang jadi korban pertama dalam perang melawan tembakau adalah kebenaran.

Lalu, Judith Hatton, co-author buku Murder a Cigarette dalam bukunya menjelaskan, pernyataan organisasi kesehatan dunia WHO tidak lain daripada propaganda yang tidak dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Data, angka, statistik, estimasi, tidak lebih dari Lies, Damned Lies.

Bahkan, kata Lauren A Colby, pengacara litigasi dari Maryland dalam bukunya In Defense of Smokers (2003) secara tegas mengatakan, propaganda anti merokok tidak berdasarkan kebenaran, tidak bertanggungjawab dan liar. Menurut Levy, Marimont, Hatton, Colby, dan orang-orang yang kritis dengan propaganda anti merokok, tembakau bukan penyebab dari risiko segala macam penyakit yang disebutkan WHO.

Mereka pun menunjukkan beberapa hasil penelitian dan kajian ilmiah, diantaranya seperti yang dimuat dalam British Journal of Cancer (2002) yang membuktikan, tidak adanya hubungan antara merokok dengan risiko kanker payudara. Hasil studi lain yang dikenal dengan sebutan Roll Royce of Studies menjelaskan, tidak adanya hubungan antara merokok dengan sakit jantung (Journal of Critical Epidemology 42, No 8, 1989).

Aisling Irwin dalam artikelnya berjudul Study casts doubt on heart ‘risk factors’ (International News, 25/8/1998), mengungkapkan, studi cardiologi paling besar yang pernah dilakukan telah gagal menemukan hubungan antara serangan jantung dengan faktor-faktor risiko klasik, seperti merokok dan tingkat kolesterol yang tinggi.

Monica study, demikian nama studi tersebut, melakukan kajian di 21 negara selama 10 tahun. Para ilmuwan tidak dapat menemukan koneksi statistik antara reduksi dengan perubahan-perubahan dalam obesitas, merokok, tingkat tekanan darah, atau kolesterol.

Hasil studi ini diumumkan the European Congress of Cardiology in Vienna pada Agustus 1998. Studi yang paling lama dan paling besar di dunia itu menghimpun informasi dari 150.000 serangan jantung, terutama di Eropa Barat, dan Rusia, Islandia, Kanada, China, dan Australia.

Penurunan penyakit jantung paling besar terjadi di Swedia. Yang meningkat terjadi di Lithuania, Polandia, China, dan Rusia. Hasil studi juga mengungkapkan, kegelisahan, kemiskinan, perubahan ekonomi, dan sosial mempunyai hubungan dengan penyakit jantung. Fakta ini nampak sejak studi ini mulai dilakukan pada era 1980-an. Seseorang yang berhenti merokok namun kehilangan rumah tempat tinggal secara umum berada pada risiko terkena penyakit jantung karena faktor stres.

Sekalipun hasil studi Monica yang didanai WHO mengungkapkan tidak adanya hubungan antara penyakit jantung dengan faktor risiko fisik, WHO tetap saja mengatakan bahwa faktor-faktor risiko klasik (karena tembakau) merupakan kontribusi utama bagi risiko individual.

Terkait dengan angka-angka perkiraan kematian dan rendahnya harapan hidup akibat kematian prematur yang disampaikan WHO, menurut Levy, Marimont, Hatton, Colby, dan orang-orang yang kritis dengan propaganda anti merokok, adalah tidak benar dan semata-mata berdasarkan pada junk science yang tidak dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

Salah satu contoh yang bertentangan dengan perkiraan kematian prematur akibat merokok adalah Jepang, Yunani dan Siprus. Negara-negara ini memiliki tingkat merokok yang tinggi di dunia. Tetapi mereka justru memiliki tingkat terkena penyakit kanker paru-paru tergolong rendah dan harapan hidup jauh lebih lama.

Lantas, benarkah yang menjadi kontributor utama berbagai penyakit di negara-negara berkembang adalah rokok? Bukankah gizi buruk, kualitas hidup yang rendah akibat kemiskinan? Apa benar tembakau itu jadi ancaman kehancuran pembangunan ekonomi, sosial dan lingkungan hidup? Indonesia sejak lama mengalami “kehancuran” bukan karena tembakau atau karena banyaknya perokok, tetapi salah satu karena bahaya laten korupsi.

Yang menarik, baik Bloomberg maupun WHO terkesan sangat konsern dengan bahaya risiko merokok (tembakau) itu daripada bahaya penyakit yang nyata-nyata dihadapi negara-negara berkembang seperti malaria, HIV/AIDS, busung lapar.

Jawabannya mungkin bisa ditelisik dari penjelasan Pierre Lemieux (2001) yang mengutip kata-kata pencetus ide dan pendiri WHO, Dr Szeming Sze, “My part in the founding of WHO was 90% diplomatic and only 10% medical. It was politics all the time.” Jadi, jelas. Urusannya selalu politik. Politik apa? Bisa macam-macam. Dagang, ekonomi, pemasaran, dan lain-lain.

Artinya, jika berbicara politik, maka akan juga membicarakan kepentingan. Pertanyaannya, kepentingan apa dan kepentingan siapa dibalik gencarnya propaganda anti merokok alias perang melawan tembakau ini?

Menarik untuk mencermati hasil riset investigatif Wanda Hamilton (2002) berjudul Big Drug’s Nicotine War. Hamilton menyebut “Koneksi yang tidak terbantahkan antara propaganda anti merokok dengan industri farmasi.”

Menurut Hamilton, propaganda anti merokok dibiayai para konglomerat farmasi. Ini menguntungkan, jadi, industri farmasi mestinya mencintai perokok. Persoalannya tidak dapat dibuktikan secara ilmiah hubungan antara merokok dengan penyakit-penyakit tersebut.

Menurut Hamilton, industri farmasi mencintai perokok sebab “they are its new business horizon” yang didukung kekuatan internasional. Gencarnya propaganda anti merokok merupakan bagian strategi marketing industri farmasi. Targetnya, orang berhenti merokok. Untuk berhenti merokok diperlukan terapi atau obat-obat yang dapat membantu atau alternatif lain yang disebut “smoking cessation and treatment services,” produk industri farmasi, seperti: nicorette, nicotinell, zyban (anti smoking pill), nicotine replacement therapy (NRT) gum and patch, glaxosmithkline, nicorette orange gum, clear nicoderm patch.

Dalam Annual Report 2001, seperti dikutip Hamilton, penjualan produk-produk ini meningkat secara signifikan. Jangan lupa, produk-produk ini juga mengandung unsur nikotin. Jadi, ini perang dagang nikotin antara industri farmasi versus industri rokok.

Menariknya lagi mendengar apa yang diungkapkan Al Martonovic, WHO mendesak pemerintah-pemerintah di dunia untuk memasukkan “smoking cessation” dan “treatment services” ini sebagai bagian program pengontrolan tembakau yang komprehensif. Terkesan WHO aktif pula mempromosikan produk dan jasa yang ditawarkan industri farmasi.

Lantas, masihkah kita berpikir bahwa propaganda anti merokok untuk kepentingan kesehatan masyarakat (public health)? Masihkah kita rela korbankan para petani tembakau, perusahaan-perusahaan tembakau, mulai perusahaan rumah tangga hingga perusahaan besar, dengan begitu banyak tenaga kerjanya, yang jelas-jelas memberikan kontribusi bagi pembangunan dan kemajuan bangsa ini, untuk kepentingan yang mengatasnamakan kesehatan masyarakat? Kita tentu akan mendukung kampanye anti merokok dan kebijakan kesehatan publik jika didasarkan pada kebenaran dan kejujuran. Jika mengorbankan kebenaran dan di atas kebohongan argumentasi, apalagi ditambah dengan label ”haram” jika didasarkan pada kepentingan tertentu. Jelas tidak!.

ANTI TEMBAKAU DAN KONSPIRASI FARMASI INTERNASIONAL

Masih segar dalam ingatan kita semua, ketika Amerika Serikat mengagresi Irak tahun 2002/2003 lalu hadir isu Severe Acute Respiratory Sindrome (SARS). Isu ini secara langsung melahirkan ketegangan negara-negara di Asia Pasifik. Tapi seperti juga kehadirannya yang tak permisi. Ia pun permisi pergi entah kemana isu itu. Tak bertahan lama seperti isu flu burung yang meluluh lantakkan peternakan domestik (Indonesia).

Isu SARS berhasil dengan baik di komunikasikan sebagai isu-isu kesehatan dan keamanan bagi negara-negara di Asia Pasifik. Lahir ketegangan antar negara; seperti Thailand dan Taiwan; demikian juga China mengalami gejolak politik bahkan menimbulkan perseteruan-perseteruan baik dalam dan luar negeri. Di dalam negeri, pemerintah China mengalami tantangan terhadap legitimasi politiknya karena dianggap tidak memberikan informasi yang terbuka mengenai wabah penyakit SARS yang berjangkit di wilayahnya (Alexandra, 2003). Sementara di luar, tarulah misalnya di Toronto, Kanada karena adanya anggapan bahwa banyak etnis Cina tersebut merupakan carrier virus SARS karena mereka sering bepergian ke wilayah-wilayah yang dijangkiti penyakit SARS.

Secara ekonomi, China amat susah dipengaruhi atau didikte, sehingga lewat cara-cara seperti itulah penguasa internasional menanamkan pengaruhnya ke Asia Pasifik, tentu yang penen adalah koorporasi farmasi internasional. Lewat isu itu bisa memproduksi obat-obatan untuk mengobati SARS. Siapa sich yang menguasai pasar farmasi Internasional?

Pada penghujung 1970-an, 20 besar perusahaan besar farmasi hanya menghasilkan 5 persen penjualan obat global. Menyusul gelombang besar-besaran marger, 20 besar itu mengontrol lebih dari 75 persen pada tahun 2002. 10 besar perusahaan saja sudah mengontrol 57 persen daro $352 miliar pasar obat global (lihat top Pharmaceutical firms).

Dalam kasus flu burung, modus yang hampir sama juga dipakai untuk (1) menyerang perusahaan-perusahaan peternakan domestik, dan (2) memainkan menopoli faksin lewat kekuatan-kekuatan loby jaringan ini. Secara opini publik, masyarakat di kooptasi dengan berbagai penggiringan opini yang sangat menyesatkan. Jadilah kita (Indonesia) budak bagi tuan-tuan besar yang menyediakan dana besar untuk menghalau apa yang disebut dengan flu burung yang tak pernah jelas itu. Kekuatan loby mereka membuat pemerintah menyediakan apa pun yang dimaui oleh sang tuan. Yang terpukul ialah peternak domestik. Indonesia tetap buntung, dan yang meraup untung tetap koorporasi Internasional lewat lembaga-lembaga Internasional itu.

Menurut laporan GRAIN, bahwa flu burung telah digunakan untuk meningkatkan kepentingan korporasi yang berkuasa, menempatkan kehidupan dan kesehatan jutaan orang dalam bahaya. Saat ini, lebih dari sebelumnya, agribisnis menggunakan bencana untuk mengkonsolidasi rantai makanan peternakan-ke-pabrik-ke-supermarket sebagai kompetisi skala kecilnya merupakan kejahatan, sedangkan perusahaan- perusahaan farmasi menambang misi yang diinvestasikan dalam data dasar global dari sampel-sampel flu untuk memperoleh keuntungan dari pasar-pasar vaksin yang putus asa dan menawan. Dua badan PBB – FAO dan WHO – tetap merupakan inti dari laporan ini, menggunakan ketinggian status,dan akses internasional mereka kepada pemerintah, dan mengendalikan aliran dana donor untuk keuntungan agenda korporasi (http://www.grain.org/m/?id=117).

Ada orang-orang yang menyadari bekerjanya jaringan ini. Tapi ia tak berdaya melawan negaranya sendiri yang berkomplot dengan jaringan loby tingkat tinggi ini. Seorang perempuan anak bangsa, dokter lulusan gadjah mada, kampus desa itu. Ia tak boleh lagi jadi menteri. Ia terlalu kritis mungkin. Sudahlah, anda jadi penasehat saja yang tak punya kebijakan apa-apa.

Setelah diributkan dengan isu flu burung, kini hadir isu penting lain yang disponsori oleh donator AS berdarah Yahudi, Michael Rubens Bloomberg. Tidak tanggung-tanggung ia menggelontorkan dana hibah total USD4,2 juta (Rp39 miliar) untuk mendukung kampanye antirokok lewat bendera Bloomberg Initiative (BI).

Lalu agenda setting apa yang ada dibalik penggelontoran dana besar itu? Riset Wanda Hamilton (2002) berjudul Big Drug’s Nicotine War. Hamilton menyebut “Koneksi yang tidak terbantahkan antara propaganda anti merokok dengan industri farmasi.” Jika seluruh skenario berjalan lancar uang sebesar itu tidak ada artinya. Pengorbanan itu akan BEP (kembali modal) dalam perhitungan yang tidak lama.

Masih menurut Hamilton, propaganda anti rokok merupakan bagian dari marketing industri farmasi. Targetnya jelas orang berhenti merokok. Dan untuk berhenti merokok diperlukan terapi dan obat-obat yang dapat membantu atau alternatif lain yang disebut “smoking cessation and treatment services,” produk industri farmasi, seperti: nicorette, nicotinell, zyban (anti smoking pill), nicotine replacement therapy (NRT) gum and patch, glaxosmithkline, nicorette orange gum, clear nicoderm patch (http://lhasamahameru.wordpress.com/2010/04/25/mega-proyek-antirokok/).

Jadi bukan apa-apa, dibalik semua pertarungan yang kasat mata itu, ada kepentingan yang bersifat bisnis (ekonomi) didalamnya. Kepentingan perdagangan obat-obat Nicotine Replacement Therapy (NRT). Pada titik ini sesungguhnya kaum agamawan dan kita semua harus peka terhadap setiap gejala yang hadir kepermukaan. Karena dibalik gejala itu, ada struktur yang bermain (koorporasi global).