Kamis, 25 Juni 2009

Kebebasan Beragama di Indonesia Sebuah Tantangan

Perkembangan gerakan sosial berbasis agama selama dua dekade terakhir ini telah meyakinkan banyak pengamat aktivitas agama sebagai penggerak dalam perubahan sosial dalam banyak belahan dunia. Hal ini memang masalah di Indonesia—negara dengan penduduk mayoritas muslim dan sejak 1999 memiliki demokrasi terbesar ketiga. Para aktivis Islam di Indonesia baru-baru ini telah menerima perhatian besar dari banyak organisasi pengembangan untuk meningkatkan partisipasi dalam pembuatan kebijakan publik, memudahkan akuntabilitas pemerintah, dan membantu reformasi demokratisasi.

Pada saat yang bersamaan, transisi negara ke arah demokrasi telah ditandai dengan perubahan minat kelompok Islam yang kuat untk mendominasi proses di legislatif, mengawasi secara ketat kehidupan pribadi orang Muslim, dan mengurangi hak-hak minoritas.

Ketika pemerintah tidak konsisten dalam menegakkan jaminan kebebasan beragama, proses demokratisasi di Indonesia menjadi tidak jelas apakah ia akan berlanjut menjadi kebebasan yang lebih luas untuk warga negara, atau apakah ia akan membentuk proses integral Islam yang menolak pluralisme dan tentunya hak-hak individu.

Pembagian yang Dalam. Sebanyak 86% dari 240 juta orang Indonesia mengidentifikasikan diri mereka sebagai Muslim—kira-kira dua per tiga dari populasi Muslim di seluruh Liga Arab—adalah hal yang tidak mengejutkan melihat Islam menjadi salah satu sumber kekuatan sosiopolitik yang paling potensial yang mempengaruhi opini publik dan mempengaruhi tindakan para elit politik.

Para politisi dan aktivis sering memaparkan pemikiran mereka dalam istilah Islam, simbol Islam, dan berkata pada publik atas nama agama. Namun, seperti yang dilihat dari perdebatan sengit mengenai posisi Islam dalam masyarakat Indonesia yang telah dimulai pada masa reformasi tahun 1998, adanya pembagian yang dalam mengenai identitas budaya bangsa serta hakikat bangsa Indonesia.

Dalam lingkungan Islam, dua gerakan sosial yang saling tumpang tindih telah bersaing secara ketat untuk mendominasi sejak era reformasi. Gerakan pertama bertujuan untuk mendirikan demokrasi pluralistik berdasarkan toleransi, keadilan sosial, dan masyarakat sipil yang kuat. Gerakan lain telah membuat Islam sebagai ideologi politik yang bertujuan untuk mendasarkan negara pada satu ajaran—fenomena yang terkait dengan Islamisme. Menekankan reformasi moral, para pejuang Islam mendukung Islamisasi secara keseluruhan dalam masyarakat Indonesia melalui penerapan syariat pada masyarakat Islam serta pendirian norma sosial seperti Saudi pada seluruh kehidupan bernegara.

Tujuan utama makalah ini adalah untuk menilai kinerja pemerintahan Indonesia dalam melindungi hak-hak dan kebebasan dasar dimana ia menghadapi berbagai upaya yang gigih untuk mengadakan berbagai pembatasan berdasarkan agama di masyarakat. Ini juga dimaksudkan untuk menjabarkan perdebatan antara kebijakan Amerika dengan Indonesia sejalan dengan dimulainya Pemerintahan Obama yang mengimplementasikan kerangka baru yang berhubungan dengan negara-negara dimana Islam menjadi kekuatan politik yang kuat.

Diskriminasi Agama. Beberapa kekerasan beragama yang sangat meresahkan melibatkan kaum minoritas dan penutupan tempat ibadah secara paksa. Selama beberapa tahun belakangan ini, para militan Islam telah membuat kampanye sistematis untuk kelompok Islam minoritas yang menginterpretasikan Islam secara berbeda dari ajaran Sunni yang dianut oleh para militan.

Beberapa razia itu menargetkan komunitas kecil Syiah di Indonesia. Serangkaian serangan diarahkan pada anggota gerakan Ahmadiyah, yang berbeda dengan mayoritas keyakinan Islam lainnya yang percaya bahwa Nabi Muhammad bukanlah Nabi terakhir di dunia. Salah satu aspek yang paling bermasalah dari kasus ini adalah bahwa pejabat lokal hanya sedikit mencegah dan gagal untuk melaksanakan amanah itu.

Bahasa Berpengaruh. Dalam bagiannya, Presiden Obama telah berkali-kali mengutarakan maksudnya untuk membina hubungan yang lebih baik dengan negara-negara yang mayoritas penduduknya muslim di seluruh dunia. Ia berniat untuk merangkul muslim secara langsung melalui diplomasi publik dan telah menunjukkan minat yang serius dalam memperluas dialog dengan para pimpinan Islam.

Yang disayangkan adalah pilihan bahasa presiden yang menjelaskan rencana bagusnya untuk melibatkan masyarakat muslim itu cukup bermasalah untuk orang Indonesia. Dalam wawancara pertamanya sebagai presiden di TV Al Arabiya pada 27 Januari 2009, Presiden Obama mengingatkan penonton bahwa ia pernah tinggal di “Negara-negara Islam”—khususnya Indonesia, yang ia jelaskan sebagai negara terbesar dalam “dunia Islam.”

Bersekolah SD di Indonesia, Presiden Obama perlu diingatkan bahwa Indonesia tidak menyebut dirinya sebagai “Negara Islam.” Namun, Republik Indonesia terdiri dari berbagai suku bangsa dan agama yang berdasar pada Pancasila, yang meliputi percaya kepada Tuhan yang Maha Esa, keadilan sosial yang beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh rakyat, dan keadilan sosial.

Memang benar bahwa Indonesia adalah rumah bagi penduduk Islam terbesar di dunia, dengan 206 juta dari 240 juta penduduknya yang menganut Islam. Namun tidak seperti negara-negara lain di Timur Tengah dan Asia Selatan dimana pengikut agama lain benar-benar dikesampingkan, Indonesia merupakan rumah bagi jutaan orang Kristen, Hindu Budha, dan kepercayaan lainnya.

Pernyataan Presiden Obama yang menyatakan Indonesia adalah “Negara Islam” dapat mengecewakan kaum minoritas yang telah merasakan tradisi toleransi bangsanya diserang oleh para ekstrimis agama. Hal tersebut juga mengabaikan berbagai upaya umat Muslim yang telah berjuang untuk mempertahankan orientasi non-sekte.

Kesimpulan. Indonesia yang dikenal oleh Presiden Obama pada masa kecilnya, dengan budaya pluralisme dan perlindungan hukum akan kebebasan beragama, memberikan model yang berpengaruh bagi keanekaragaman agama pada dunia. Pemerintahannya harus bertindak cepat untuk mendukung tradisi ini. Hal ini dapat dimulai dengan membatasi penggunaan retorika yang menjelaskan perbedaan daerah secara sembarangan berdasarkan kelompok agama yang dominan.

Di sisi lain, propaganda para aktivis Islam, faktanya, merupakan bagian kecil dari masyarakat muslim dunia yang dapat dinamakan dengan “dunia Islam.” Masyarakat Israel dan Palestina mungkin membutuhkan solusi dari dua negara untuk mengatasi trauma mereka. Kita dapat berharap bahwa Presiden Obama dan pemimpin dunia lainnya akan lebih kreatif dalam mempererat paradigma hubungan internasional yang akan membantu selesainya dikotomi berdasarkan agama yang menyebabkan banyak konflik saat ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar